Naga Kikik Pamor Melati Tumpuk |
Keris yang bagus sesuai fungsinya sebagai senjata adalah tidak mudah
patah atau bengkok. Ini juga merupakan hasil evolusi-progresif dari Empu
dan para pande besi. Mereka melakukan mixing atas berbagai jenis logam,
setidaknya besi, baja dan logam lain. Sadar akan kelemahan
masing-masing logam, maka dibuat percobaan mencampur berbagai jenis
logam untuk menghasilkan senjata yang unggul dari sisi material.
Baja yang keras, tajam, namun getas (mudah patah), diapit oleh logam
lain yang lentur (seperti lapisan besi lunak dan nikel) untuk menutupi
kelemahan baja yang keras dan mudah patah tersebut. Karena susunan
berlapis itu keris memiliki keistimewaan lain, lapisan besi lunak dan
nikel menimbulkan konfigurasi yang indah dan itulah yang disebut
‘pamor’. Kata ‘pamor’ berasal dari bahasa Jawa ‘amor’ atau ‘diwor’ yang
artinya ‘dicampur’ atau ‘disatukan’. (Kutipan : A.Ardiasto).
Awalnya motif pamor tidak beraturan, tidak kontras dan muncul tanpa
disengaja. Garis-garis itu merupakan layer baru akibat adanya proses
over-reaktif antara dua lapis bahan yang tidak murni yang terkena bara
api dan pukulan. Layer itu memiliki lapisan grafis disebut ‘pamor sanak’
dan kemudian menjadi seni tersendiri. Oleh keadaan itu muncul ide dan
metode mengatur terjadinya alur lapisan grafis (pamor sanak) dengan cara
penambahan nikel atau logam yang lain. Beberapa bahan besi (heterogen)
yang digunakan sering pula setelah diwarangi membentuk nuansa
samar-samar keputihan tidak berupa alur yang jelas, lebih melebar
seperti ‘awan di langit’ disebut pamor “ngapuk” (dari kata ‘kapuk’ =
kapas; bhs.Jw).
Catatan-catatan etnografis masa lalu menunjukan bahwa empu keris atau
pande besi secara khusus memiliki kedudukan penting dalam masyarakat
karena dianggap memiliki kesaktian dan tidak sembarangan atau setiap
orang dapat menjadi empu. Oleh karena itu sangat menarik bahwa, seperti
disebutkan di dalam kitab Slokantara, pande besi termasuk salah satu
golongan masyarakat ‘candala’.
Tempat pembuatan benda-benda logam pada
abad ke 9 di sebut ‘gusalyan’ dari istilah ‘paryyen’ (jawa kuno) berubah
menjadi ‘paron’. Tempat-tempat tersebut dianggap sacral karena memiliki
aspek simbolik – religius dimana ‘paron’ (landasan tempa) adalah
lambang bumi dan ‘palu’ merupakan jatuhnya bahan besi (meteor) yang
ditumbukkan, sebagai lambang terrestrial dan celestial yaitu simbolik
dari persatuan “bapa akasa” dan “ibu bumi”. Artinya dalam pengertian ini
adalah, bahwa selain fungsi teknomik dan sosioteknik, keris juga
dianggap sebagai benda sacral yang dihasilkan dari pemahaman religius
tentang ‘manunggaling kawulo gusti’. (kutipan dari makalah Prof. Dr.
Timbul Haryono).
Penggunaan logam meteorit itu memang dilakukan secara sengaja
terutama ketika proses spiritual yang mengiringi penciptaan para Empu
ikut memberikan aksentuasi, yaitu adanya kepercayaan manusia (maguru
alam pada masyarakat agraris) yang berdasar pada filosofi ‘manunggaling
kawula Gusti’ tersebut. Filosofi Perrestrial itu tidak hanya milik
masyarakat kita, tetapi merupakan sebuah gejala pada semua masyarakat
atau manusia di seluruh dunia, yang menyadari akan keberadaannya dalam
ruang lingkup kehidupannya berinteraksi dengan alam.
Kemudian penyatuan material logam meteorit tersebut pada ‘keris’
dianggap sebagai keterwakilan adanya kekuatan yang dahsyat. Kini,
kepercayaan terhadap kekuatan yang ada pada keris itu memperkuat
eksistensi keris, dengan sebutan adanya tuah, khasiat, yoni, daya magis,
dlsb.
Hasil ciptaan konfigurasi grafis dari lapisan pamor (meteorit)
kemudian memiliki sebuah nilai estetika tersendiri apalagi setelah
proses warangan. Dari beberapa sumber diketahui ‘warangan’ adalah
senyawa kimia arsenic As2S3 dibawa berasal dari daratan Indochina.
Warangan (bie-soan; bhs. Cina) sering dipergunakan sebagai obat atau
bahan ramuan untuk menyembuhkan luka dan mengurangi rasa sakit akibat
asam lambung. Para tabib (shines) di daratan Indochina sering mengobati
pasien ambeien dengan mengoles serbuk warangan. Selain itu warangan muda
yang ditumbuk (digerus) dan diaduk dengan air 1 sendok teh, ditelan
untuk menyembuhkan sakit maag, cara kerja dalam proses penyembuhannya
hampir mirip dengan strocain pada obat-obatan modern.
Warangan yang dicampur asam citrate akan bereaksi sebagai senyawa
kimiawi anti korosi pada besi. Senjata tua dari belahan Asia seperti
Pokiam (pedang China) dibasuh warangan agar tidak berkarat. Transfer
teknologi tentang asal-usul penggunaan anti korosi dengan warangan pada
para Empu memang tidak pernah diketahui dengan pasti, apakah berasal
dari China atau memang para Empu Nusantara jaman dahulu yang
menemukannya. Selanjutnya, terjadinya pemahaman nilai yang kompleks
dalam bentuk akulturisasi dan sinkretisasi kepercayaan ke-Tuhanan
mengangkat keris untuk di’agung’kan. Maka, di wilayah Nusantara terutama
di Jawa dikenal adanya tradisi jamasan pusaka atau membersihkan pusaka,
biasanya dilaksanakan pada bulan Maulud atau bulan Suro.
Jadi, dapat dirunut dan disimpulkan tujuan mewarangi keris awalnya
adalah proses teknis untuk anti karat, yang berkembang menjadi media
estetika (seni pada konfigurasi pamor) dan seterusnya kemudian
berkembang pula adanya sebuah tradisi atau upacara. Hal ini karena keris
mengalami pergeseran nilai dari sebuah senjata teknomik – sosioteknik –
ideologis, menjurus sebagai benda khusus yang disakralkan, di-agungkan
bahkan menjadi benda yang dipercaya sebagai jimat.
Sekarang eksistensi keris dapat dianggap sebagai benda budaya. Benda
yang perjalanannya tak lepas dari sentuhan aspek sosiologis –
etnografis, menjadi sebuah warisan budaya dimana UNESCO memberikan
penghargaan berupa proclaime-nya sebagai world heritage karya manusia.
Untuk menampakkan alur pamor itu keris direndam cairan warangan
(campuran kimia arsenic As2S3 dengan asam dari jeruk nipis C3H4OH).
Cairan warangan yang sudah bereaksi dengan asam akan melindungi besi
dari korosi, dan merubah warnanya menjadi kehitaman. Sehingga alur pamor
akan lebih tampak dengan tampilan putih keabu-abuan karena jenis unsur
logam bahan pamor seperti unsur Nikel, Zink, Paspor, Allumunium yang
terkandung tidak bereaksi terhadap warangan dan tidak berubah warnanya.
Sedang besi akan menjadi hitam. Setelah diwarangi alur pamor akan lebih
tampak kontras bisa dibedakan oleh penglihatan (lihat gambar paling
depan pada naskah ini).
Pada saat sekarang ini, para pecinta keris dan tosanaji dapat
menikmati keindahan seni pamor yang ada pada keris-keris. Beratus bahkan
mungkin ribuan pattern (motif pamor) telah diciptakan oleh para empu,
baik secara sengaja (Bhs. Jw.:”Jwalono” – Rekan) atau tidak disengaja
(Bhs.Jw.; “anukarto wirasat” – tiban). Semua motif itu, ada yang bisa
dilaksanakan oleh para seniman keris jaman sekarang, namun diantaranya
juga tidak bisa dibuat ulang karena tiada kejelasan dan contoh
barangnya. Seperti pamor ‘jarot asem’, ‘guntur gunung’ dan beberapa
jenis lainnya, dimana pada buku-buku tua hanya dibuat sketsnya (gambar
tangan), sehingga meragukan apakah betul pamor semacam itu pernah ada.
+ comments + 2 comments
nonton sabung ayam peru hanya di www.bolavita.pw
Mantaap👍🏾
Post a Comment