Yang menarik dari artikel tentang Ricikan Keris adalah kalimat terakhir yang menyebutkan bahwa "Seseorang tidak akan mungkin mengetahui nama dapur bilamana ia tidak hafal terhadap ricikan keris ini".
Jadi saat kemarin seseorang menawarkan keris gonjo wilut singo barong luk 5 tangguh kamardikan, jika dilihat dari referensi yang ada tentang Ricikan Keris tidak termasuk gonjo wilut tapi gonjo kelap lintah. Entah yang menawakan tahu apa tidak, saya sendiri semula juga menganggap gonjo wilut :)
Pada tulisan ini saya tidak ini membahas tentang hal tersebut, mungkin dilain kesempatan akan ada tulisan tersendiri tentang "Beli Rp. 500,000 Jual Rp. 400.000 Tetap Untung", pada tulisan ini saya ingin memenuhi janji saya untuk menulis "mengapa kadang mahar sebuah keris terkesan ganjil".
Beberapa waktu yang lalu teman dari "teman keliling" yang akhir akhir ini sering ketemu baik di rumah maupun di warung kopi, menawari saya 2 keris, satu keris kamardikan dan 1 keris semi (istilah yang dipakai "teman keliling" untuk keris garap baru, besi lama dari keris lama yang sudah tidak lagi dapat dinikmati keindahannya, dan biasanya keris semacam ini dalam bahasa orang antikan di sebut Keris T, belum jelas apa makna huruf T yang dipakai). Keris semi, dapat dikatakan sebagai Keris Daur Ulang, dan jika masa pembuatannya setelah tahun 1945, tentu tidak salah jika keris semi juga di sebut Keris Kamardikan :)
Temannya lagi "butuh" dan memberikan harga / mahar di bawah harga pasar, hal yang sangat lumrah di kalangan orang antikan.
Keris Semi tersebut ber berpamor junjung derajat, meski saya juga mulai ragu apakah benar junjung derajat?, saat tadi sempat browsing tentang keris berpamor sama apakah ber pamor raja abala raja, pandito bolo pandito atau ujung gunung?, tapi yang jelas setelah terjadi perpindahan hak kepemilikan, untuk yang keris kamardikan saya simpan karena saya senang dengan keris gonjo wilut luk 13 tersebut, meski akhirnya juga saya tukar tambah dengan keris nogo kikik pamor melati tumpuk yang pernah saya lihat beberapa hari sebelumnya, dan yang semi silahkan jika ada yang ingin memahari, tukar tambah atau barter :)
Singkat cerita, "teman keliling" ke rumah Mbah Mrutuk dan saya ditawari keris tangguh majapahit tanpa rangka, jika tukar tambah beliau meminta tambahan uang sebesar Rp. 210.000,-. Ketika dikirimi pesan tentang hal tersebut, saya bilang "OK". dan terjadilah tukar tambah keris kamardikan dengan keris tangguh majapahit.
Ketika sampai di rumah, menunjukkan keris tangguh majapahit, sambil ngopi ngobrol kesana kemari, saya tanyakan kenapa Mbah Mrutuk meminta tambahan Rp. 210.000,- ?, "teman keliling" menjawab tidak tahu.
Dan ketika saya ingatkan, kalau keris tangguh majapahit tanpa rangka yang saat ini telah berpindah hak kepemilikan tersebut pernah di tawar Rp. 500.000,- dan beliau tidak memberikan, sementara beliau ingin melepas, beliau tidak ingin mahar yang lebih rendah dari orang lain yang pernah menawar dan tidak beliau berikan, dan itu artinya keris semi dihargai Rp. 300.000, jadi mahar yang diminta untuk keris tersebut adalah Rp. 510.000,-. Apakah begitu? ketika mendengar uraian saya, teman "teman keliling" menjawab..... masuk masuk :)
Setidaknya, apabila mungkin suatu saat orang yang menawar keris majapahit tersebut, berkunnjung kerumahnya, dan menanyakan perihal keris tersebut, beliau bisa menjawab apa adanya, dan tidak dipaido (dicemooh/dilecehkan) karena beliau melepas keris tersebut dengan mahar yang lebih rendah dari yang pernah ditawar, paling tersenyum :)
Apakah seperti itu adanya, yang tahu persis mengenai hal ini tentu Mbah Mrutuk :)
Cerita ini saya tulis sebagai bentuk rasa hormat kepada Mbah Mrutuk yang saya rasakan begitu bersahaja dalam menghadapi hidup dan kehidupan.
Post a Comment